Kamis, 31 Mei 2012

Tokoh Pendidikan Islam : Prof.Dr.Komaruddin Hidayat


Bab I
Pendahuluan



1.1  Latar Belakang Masalah
Pendidikan adalah upaya mengembangkan potensi-potensi manusiawi peserta didik baik potensi fisik potensi cipta, rasa, maupun karsanya, agar potensi itu menjadi nyata dan dapat berfungsi dalam perjalanan hidupnya. Dasar pendidikan adalah cita-cita kemanusiaan universal. Pendidikan bertujuan menyiapkan pribadi dalam keseimbangan, kesatuan. organis, harmonis, dinamis. guna mencapai tujuan hidup kemanusiaan. Filsafat pendidikan adalah filsafat yang digunakan dalam studi mengenai masalah-masalah pendidikan.
Tujuan filsafat pendidikan memberikan inspirasi bagaimana mengorganisasikan proses pembelajaran yang ideal. Teori pendidikan bertujuan menghasilkan pemikiran tentang kebijakan dan prinsip-rinsip pendidikan yang didasari oleh filsafat pendidikan. Praktik pendidikan atau proses pendidikan menerapkan serangkaian kegiatan berupa implementasi kurikulum dan interaksi antara guru dengan peserta didik guna mencapai tujuan pendidikan dengan menggunakan rambu-rambu dari teori-teori pendidikan. Peranan filsafat pendidikan memberikan inspirasi, yakni menyatakan tujuan pendidikan negara bagi masyarakat, memberikan arah yang jelas dan tepat dengan mengajukan pertanyaan tentang kebijakan pendidikan dan praktik di lapangan dengan menggunakan rambu-rambu dari teori pendidik. Seorang guru perlu menguasai konsep-konsep yang akan dikaji serta pedagogi atau ilmu dan seni mengajar materi subyek terkait, agar tidak terjadi salah konsep atau miskonsepsi pada diri peserta didik.
Filsafat pendidikan nasional Indonesia adalah suatu sistem yang mengatur dan menentukan teori dan praktek pelaksanaan pendidikan yang berdiri di atas landasan dan dijiwai oleh filsafat hidup bangsa "Pancasila" yang diabdikan demi kepentingan bangsa dan negara Indonesia dalam usaha merealisasikan cita-cita bangsa dan negara Indonesia.
Obyek filsafat pendidikan ialah semua aspek yang berhubungan dengan upaya manusia untuk mengerti dan memahami hakikat pendidikan itu sendiri, yang berhungan dengan bagaimana pelaksanaan pendidikan dan bagaimana tujuan pendidikan itu dapat dicapai seperti yang dicita-citakan.
Salah satu ilmu filsafat yang selalu menarik untuk dipelajari adalah pendidikan Islam. Sebagai ilmu, pendidikan Islam bertugas untuk memberikan penganalisaan secara mendalam dan terinci tentang problema-problema kependidikan Islam sampai kepada penyelesaiannya. Pendidikan Islam sebagai ilmu, tidak melandasi tugasnya pada teori-teori saja, akan tetapi memperhatikan juga fakta-fakta empiris atau praktis yang berlangsung dalam masyarakat sebagai bahan analisa. Oleh sebab itu, masalah pendidikan akan dapat diselasaikan bilamana didasarkan keterkaitan hubungan antara teori dan praktek, karena pendidikan akan mampu berkembang bilamana benar-benar terlibat dalam dinamika kehidupan masyarakat. Antara pendidikan dan masyarakat selalu terjadi interaksi (saling mempengaruhi) atau saling mengembangkan sehingga satu sama lain dapat mendorong perkembangan untuk memperkokoh posisi dan fungsi serta idealisasi kehidupannya. Ia memerlukan landasan ideal dan rasional yang memberikan pandangan mendasar, menyeluruh dan sistematis tentang hakikat yang ada dibalik masalah pendidikan yang dihadapi.
Seorang tokoh filsafat pendidikan Islam di Indonesia adalah Prof.Dr.Komaruddin Hidayat. Sejak kecil Komar dekat dengan dunia Islam utamanya pesantren. Komarudin merupakan Alumni pesantren modern Pabelan, Magelang (1969) dan Pesantren al-Iman, Muntilan (1971). Setelah lulus dari pesantren, ia melanjutkan studi sarjana muda (BA) di bidang Pendidikan Islam (1977) dan sarjana Lengkap (Drs.) di bidang Pendidikan Islam (1981) di IAIN Jakarta. Komar melanjutkan studi doktoral ke luar negeri. Ia Meraih doktor di bidang Filsafat Barat di Middle East Techical University, Ankara, Turkey.
Selain sebagai akademisi, ia juga menjadi penulis kolom di beberapa media massa. Kemampuan inteletualitasnya ia tunjukkan dengan menjadi peneliti di beberapa lembaga kajian dan penelitian. Komar merupakan kolumnis di beberapa media massa seperti Harian Kompas dan Seputar Indonesia dan Republika. Selaku akademisi, Komar menjadi Dosen pada Fakultas Pasca Sarjana IAIN Jakarta (sejak 1990), dosen pada Fakultas Pasca Sarjana Universitas Indonesia (sejak 1992), dosen Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara (sejak 1993). Selain sebagai dosen, ia juga sebagai Dewan Redaksi majalah Ulumul Qur`an (sejak 1991), Dewan Redaksi jurnal Studia Islamika (sejak 1994), Dewan Editor dalam penulisan Encylopedia of Islamic World, dan Direktur pada Pusat Kajian Pengembangan Islam Kontemporer, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (sejak 1995). Sejak tahun 1990, ia merupakan salah satu peneliti tetap Yayasan Wakaf Paramadina, Jakarta.
      Banyak sekali pemikiran-pemikiran cerdas dari Prof.Dr.Komaruddin Hidayat yang memberikan penambahan wawasan bagi para pemerhati dan pembelajar dalam dunia pendidikan,khususnya dalam memahami pendidikan Islam dan pemahaman hidup dalam keragaman hidup beragama yang berbeda-beda di Negara Kesatuan Indonesia yang ber-Bhineka Tunggal Ika.

1.2  Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah:
1.   Mengetahui tokoh utama dari tokoh filsafat pendidikan Islam Prof.Dr.Komaruddin Hidayat
2.   Mengetahui tentang biografi Prof.Dr.Komaruddin Hidayat, Pemikiran Prof.Dr.Komaruddin Hidayat , Bibliografi karya-karya utama Prof.Dr.Komaruddin Hidayat, dan Karya-Karya Prof.Dr.Komaruddin Hidayat






Bab II
 Pembahasan



2.1     Biography Prof.Dr.Komaruddin Hidayat
Komaruddin Hidayat (lahir di Magelang, Jawa Tengah, 18 Oktober 1953; umur 58 tahun) adalah rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta untuk periode 2006-2010. Selain sebagai akademisi, ia juga menjadi penulis kolom di beberapa media massa. Kemampuan inteletualitasnya ia tunjukkan dengan menjadi peneliti di beberapa lembaga kajian dan penelitian.
Karier
Sejak kecil Komar dekat dengan dunia Islam utamanya pesantren. Komarudin merupakan Alumni pesantren modern Pabelan, Magelang (1969) dan Pesantren al-Iman, Muntilan (1971). Setelah lulus dari pesantren, ia melanjutkan studi sarjana muda (BA) di bidang Pendidikan Islam (1977) dan sarjana Lengkap (Drs.) di bidang Pendidikan Islam (1981) di IAIN Jakarta. Komar melanjutkan studi doktoral ke luar negeri. Ia Meraih doktor di bidang Filsafat Barat di Middle East Techical University, Ankara, Turkey (1990).
Pada 17 Oktober 2006, dalam rapat senat yang dipimpin oleh Azyumardi Azra, di Auditorium utama UIN Syarif Hidayatullah, Komar terpilih sebagai rektor universitas tersebut. Ia memenangi pemilihan suara atas dua kandidat lainnya yakni Prof. Dr. Masykuri Abdillah dan Prof. Dr. Suwito.
Komar merupakan kolumnis di beberapa media massa seperti Harian Kompas dan Seputar Indonesia dan Republika. Selaku akademisi, Komar menjadi Dosen pada Fakultas Pasca Sarjana IAIN Jakarta (sejak 1990), dosen pada Fakultas Pasca Sarjana Universitas Indonesia (sejak 1992), dosen Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara (sejak 1993).
Selain sebagai dosen, ia juga sebagai Dewan Redaksi majalah Ulumul Qur`an (sejak 1991), Dewan Redaksi jurnal Studia Islamika (sejak 1994), Dewan Editor dalam penulisan Encylopedia of Islamic World, dan Direktur pada Pusat Kajian Pengembangan Islam Kontemporer, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (sejak 1995). Sejak tahun 1990, ia merupakan salah satu peneliti tetap Yayasan Wakaf Paramadina, Jakarta.
Perjalanan hidup
Komaruddin lahir di keluarga miskin di Muntilan. Meski keadaan tidak menguntungkan, ia memiliki motivasi kuat dalam meraih pendidikan yang terbaik. Untuk meraih keberhasilan, Komar memiliki motivasi besar yang dilatarbelakangi empat hal. Empat hal inilah yang menjadi titik balik bagi hidupnya. Pertama, kondisi kampung halaman yang menyedihkan. Kedua, wafatnya ibu sejak kecil. Ketiga, sosok neneknya, Qomariyah, yang arif dan menanamkan semangat kehidupan yang besar. Keempat, hadirnya sosok Kiai Hamam Ja’far dan kondisi pesantren yang menjadi latar sosial tempat dirinya tumbuh menjadi sosok yang dewasa.
Nenek Komar adalah orang yang arif. Ia menggantikan peran ibu yang telah meninggalkannnya sejak kecil. Selain kagum terhadap neneknya, Komar juga mendapat dorongan motivasi dari Kiai Hamam Ja’far di Pesantren Pabelan, Magelang. Komar menilai, sosok Kiai Hamam yang sudah dianggap sebagai ayahnya itu seperti sosok Nabi Musa. Yakni, figur pemimpin, panutan, dan pemberi petunjuk yang selalu bersikap keras untuk menaklukkan ketimpangan dan kemiskinan.
Kiai Hamam mengajarkan Komar bahwa manusia punya hak untuk merdeka, untuk hidup. Kiai Hamam menunjukkan semangat dan etos kerja tinggi yang ditunjukkan Nabi ketika hijrah. Komar juga mendapat pesan bahwa prinsip hidup harus seperti air. Kalau mengenang saja, ia akan menjadi sumber penyakit, sementara apabila mengalir, ia akan menjadi bersih.
Berkat motivasi tersebut, Komar merantau ke Jakarta pada usia 18 tahun sehingga akhirnya beberapa capaian ia raih, antara lain mendapat kesematan belajar di luar negeri dan menjadi rektor universitas. Ia juga telah berkeliling ke 30 negara dalam rangka seminar dan studi komparatif untuk masalah kebudayaan dan pengembangan keagamaan dengan berbagai universitas dan NGO.
Biografi lengkap
Berikut biografi lengkap Komarudin Hidayat.
Jabatan
  • Rektor UIN Jakarta, 2006-2010
  • Ketua Panitia Pengawas Pemilu 2004
Pendidikan
  • Ponpes Pabelan, Magelang (1969)
  • Sarjana Fakultas Ushuludin IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta (1981)
  • Master and PhD Bidang Filsafat pada Middle East Technical University, Ankara, Turki (1995)
  • Post Doctorate Research Program di Harfort Seminary, Connecticut, AS, selama satu semester (1997)
  • International Visitor Program (IVP) ke AS (2002)
Pengalaman kerja
  • Guru Besar Filsafat Agama, UIN Jakarta (sejak 2001)
  • Direktur Eksekutif Yayasan Paramadina (1996-2000)
  • Associate Trainer/Consultant bidang HRD pada Vita Niaga Colsultant (sejak 1999)
  • Dosen Tetap Institut Bankir Indonesia (sejak 2000)
  • Dosen Pascasarjana Universitas Gadjah Mada (sejak 2003)
  • Advisory Board Member of Common Ground Indonesia (sejak 2001)
  • Ketua Panitia Pengawas Pemilu Pusat (2003-2004)
  • Chairman pada Indonesia Procurement Watch (sejak 2002)
  • Direktur Eksekutif Pendidikan Madania (sejakn 2001)
  • Dewan Pertimbangan Pendidikan DKI Jakarta (sejak 2004)
  • Direktur Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta (sejak 2005)
  • Anggota Badan Standar Nasional Pendidikan RI (sejak 2005)
  • Ketua Panitia Pengawas Pemilu, 2004
  • Rektor UIN Jakarta, 2006-2010

2.2     Pemikiran Prof.Dr.Komaruddin Hidayat
Prof. Dr. Komaruddin Hidayat tentu sudah tidak asing lagi dalam dunia pendidikan. Ia adalah salah satu tokoh pendidikan di Indonesia yang saat ini menjabat sebagai rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta Selatan.
Menurut Dr. Komaruddin Hidayat, wajah Islam di Indonesia sekarang muram, hal ini bisa dilihat dari maraknya konflik antar masyarakat bahkan tidak hanya pada tingkatan masyarakat grass-root tapi sudah pada tingkat atas (golongan elit). Fenomena perbedaan pendapat antar satu kelompok dengan kelompok lain malah sudah meningkat menjadi aksi fisik entah itu dengan pengerahan massa atau bentrokan berdarah. Lebih lanjut, menurut Komaruddin, di dalam masyarakat yang secara politis ekonomis amburadul, maka manifestasi agama akan muncul sebagai fenomena kolonialisme sosial. Kalau itu terus terjadi agama hanya akan tampil sebagai kekuatan dan identitas kelompok dan bukan ajaran moral. Dan secara besar hati harus diakui bahwa sistem pendidikan agama (islam) merupakan ‘penyumbang’  terbesar atas kondisi yang menyesakkan dada tersebut. Ini dikarenakan sistem pengajaran agama di Indonesia lebih mengutamakan indoktrinasi daripada otonomi, akibatnya potret Islam lebih terkesan pada kecenderungan yang diskriminatif dan anarkis.
Substansi pemikiran Dr. Komaruddin Hidayat di atas sesungguhnya menyiratkan maksud perlunya diadakan pembenahan secara sistemik dalam pendidikan Islam. Sederhananya, bagaimana pendidikan Islam mampu membentuk perilaku individu, kelompok dan sosial yang sesuai dengan rambu-rambu ajaran mulia Islam dan bukan malah mempolitisir agama untuk  kepentingan kelompok tertentu atau untuk mempertahankan kekuasaan. Untuk itulah pertanyaan yang kemudian menjadi relevan untuk diajukan adalah bagaimana caranya, dari mana memulai, aspek apa saja yang perlu dibenahi, siapa yang bertanggung jawab untuk ‘proyek besar’ ini, sudahkah diadakan uji kelayakan untuk proyek ini untuk menginventarisir permasalahan yang ada dan membuat perencanaan yang strategik untuk mengatasi kendala yang akan timbul di kemudian hari, dan lain sebagainya.
Selain perhatiannya terhadap dunia pendidikan Islam yang memberikan pemifikiran cerdas, Prof.Dr.Komaruddin Hidayat juga memberikan Pandangan-pandangan kesufian yang sudah banyak dikenal, lantaran ia termasuk rajin berceramah tasawuf di berbagai forum. Kekuatan ceramah tasawuf pria penggemar olah raga tenis ini terletak pada metafor-metafor yang dinukil dari kisah-kisah sufi klasik kemudian direfleksikan ke dalam kehidupan aktual saat ini. Inilah yang menyebabkan ceramahnya begitu hidup dan memikat siapa saja yang mendengarkannya. Bukan hanya ceramahnya, tulisan-tulisannya pun mengalir dan enak dibaca. Mungkin karena tulisan-tulisannya itu lebih merupakan refleksi ketimbang analisis ilmiah yang kaku.
Tentang kepiawaannya dalam menulis, Prof.Dr.Komaruddin Hidayat mengaku karena memang sejak remaja (di pesantren) sudah membiasakan diri berlatih menulis. Bekal keterampilan menulis itu ia asah terus hingga kuliah. Ketika menjadi mahasiswa sampai lulus S1, ia pernah menjadi wartawan majalah Panji Masyarakat selama 4 tahun (1978-1982). Beliau adalah orang yang percaya bahwa masa kecil seseorang menentukan akan menjadi apa orang tersebut kelak. Dan ia merasa beruntung karena sejak kecil orangtuanya telah mengarahkannya ke jalan yang kini ia yakini sebagai “benar”
Cendekiawan Prof. Dr. M. Dawam Rahardjo pernah menilai Komaruddin Hidayat sebagai cendekiawan yang unik, lantaran penguasaannya pada bidang kajian Bahasa Agama—suatu bidang yang jarang digeluti orang lain. Keahliannya di bidang bahasa agama ini dituangkannya dalam sebuah buku berjudul Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneutik, yang diterbitkan Paramadina pada 1996.
Bagi Dawam Rahardjo, Komaruddin Hidayat merupakan fenomena dari sebuah proses mobilisasi keluarga santri pedesaan yang kemudian mampu menembus batas-batas lokal dan kemudian mengikatkan diri ke dalam jaringan intelektual secara global. Namun sebagai intelektual berlatar belakang pendidikan agama, Komar tetaplah seorang guru ngaji yang setia pada tradisi Islamnya. “Komaruddin Hidayat itu sebenarnya memiliki kualifikasi seorang kiai, sebagaimana Cak Nur, seorang cendekiawan yang memiliki kualifikasi seorang ulama,” demikian tulis M. Dawam Rahardjo dalam kata pengantar untuk buku Komaruddin Hidayat berjudul Tragedi Raja Midas: Moralitas Agama dan Krisis Modernisme (Paramadina, 1998).
Minat Prof.Dr.Komaruddin Hidayat terhadap tasawuf bukanlah sebuah kebetulan. Sebab, sebagai pengkaji filsafat dan guru besar filsafat Islam ia pasti sangat dekat dengan kajian-kajian mistisisme Islam. Sudah menjadi tradisi di lingkungan akademik IAIN untuk mengkaji bidang-bidang ilmu tradisional Islam secara komprehensif. Filsafat dan mistisisme adalah dua di antara disiplin tersebut. Bekal disiplin ilmu itulah kelak yang mengantarkan beliau menjadi analis yang tajam dalam bidang sosial keagamaan, juga penutur tasawuf yang cukup memukau. Corak tasawuf Prof.Dr.Komaruddin Hidayat, sebagaimana dituturkan oleh Dawam, adalah tasawuf yang digandengkan dengan gagasan transformasi sosial sebagaimana juga menjadi concern dari cendekiawan seperti Moeslim Abdurrahman dan Kuntowijoyo.
Umat Islam, kata Prof.Dr.Komaruddin Hidayat, juga tidak mampu membangun institusi riset yang independen, yang mengabdi pada pengembangan ilmu terapan. Kuatnya peradaban teks dan kekuasaan ulama-umara, yang lebih mementingkan ritual dan kekuasaan politik ketimbang membangun peradaban, telah menyia-nyiakan aset intelektual yang dimiliki dunia Islam. “Toby E Huff secara karikatural menunjukkan ketidakmampuan dunia Islam memanfaatkan aset intelektualnya, di mana kompas hanya dipergunakan untuk menunjukkan kiblat, sementara oleh orang Eropa dipakai untuk bisa berkeliling dunia. Ilmu astronomi hanya dipakai untuk menentukan kapan datangnya bulan Ramadhan, sementara di Eropa dijadikan modal petualangan angkasa. Lalu dinamit oleh dunia Islam digunakan untuk berperang menghancurkan musuh, di Eropa dijadikan tenaga untuk menggerakkan industri berat dan kapal besar,” tandas mantan dosen Filsafat Islam di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta itu.
Kitab suci al-Quran, menurut Prof.Dr.Komaruddin Hidayat, seharusnya menjadi sumber pencerahan yang tak pernah kering bagi umat Islam. Namun, itu harus disertai iklim kebebasan berekspresi dan bereksperimentasi dengan dukungan institusi yang profesional dan dana yang cukup. Di tengah krisis multidimensi, bangsa Indonesia mempunyai kesempatan untuk melakukan rekonstruksi ulang guna menemukan format Indonesia baru. Bagi umat Islam, kesempatan ini merupakan panggilan sejarah untuk memberikan kontribusi bagi bangsa dan peradaban dunia untuk membangun sebuah model negara demokrasi yang dimotivasi oleh komitmen keislaman. Umat Islam yang merupakan mayoritas di negeri ini, tambah beliau, harus paling merasa terpanggil memperjuangkan kesejahteraan, keadilan, dan demokrasi. Bukannya malah kembali ke alam pikiran mitologis dan komunalistik.
Prof.Dr.Komaruddin Hidayat membedakan dengan tegas antara mitologi dengan mistik. Mitologi merupakan kepercayaan yang tanpa dasar, sementara ajaran mistik bersandar pada petunjuk Tuhan mengenai iman kepada yang gaib sebagaimana diisyaratkan dalam ayat-ayat pertama surat al-Baqarah. Dimensi mistik dari Islam inilah menurut Prof.Dr.Komaruddin Hidayat yang harus ditampilkan pada masa sekarang yang penuh dengan krisis. Sebagaimana terbaca dalam tulisannya, “Agama dan Kegalauan Masyarakat Modern” (2000), agama baginya adalah sumber spiritualitas. Oleh karena itu, kekayaan spiritualitas agama ini harus ditampilkan sebagai sumbangan untuk menyelesaikan krisis spiritualitas manusia dan masyarakat modern.
Malapetaka akibat kekosongan spiritualitas, kata Prof.Dr.Komaruddin Hidayat yang juga pernah mengajar di Pasca Sarjana Filsafat UI ini, akan mudah menimpa manakala manusia menjauh dari Tuhannya. Sebab, manusia terikat perjanjian dengan Tuhan sebelum manusia lahir ke dunia ini. Allah berfirman: “(Ingatlah) ketika Rabb-mu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Rabb-mu?”) Mereka menjawab: Benar (Engkau Rabb kami), kami bersaksi.” (Kami lakukan yang demikian ini) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan-Nya). (Q al-A`raf, 7:172).
Dalam pandangan Prof.Dr.Komaruddin Hidayat, bila ridha Tuhan tidak lagi menjadi pusat orientasi manusia, kualitas kehidupan menjadi rendah. Dengan menjadikan Tuhan sebagai tujuan akhirnya, manusia akan terbebaskan dari derita kehampaan spiritual, karena Tuhan adalah Pesona yang Maha Hadir (Omnipresent) dan Maha Mutlak. Eksistensi yang relatif akan lenyap ke dalam eksistensi yang absolut. Keyakinan dan perasaan akan kemahahadiran Tuhan inilah yang akan memberikan kekuatan, pengendalian dan sekaligus kedamaian hati seseorang, sehingga yang bersangkutan senantiasa berada di dalam orbit Tuhan, bukannya putaran dunia yang tak jelas lagi ujung pangkalnya.
Dimensi spiritualitas dari faham dan penghayatan keberagamaan, menurut Prof.Dr.Komaruddin Hidayat, pada dasarnya merupakan sebuah perjalanan ke dalam diri manusia sendiri. Bisa jadi masyarakat modern yang memiliki fasilitas transportasi canggih merasa telah melanglang buana, bahkan telah melakukan perjalanan ke planet lain, namun amat mungkin masih miskin dalam pengembaraannya dalam upaya mengenal dimensi batinnya, bahwa ia adalah makhluk spiritual. Pencapaian sains dan teknologi memang membuat manusia lupa bahwa dirinya adalah makhluk spiritual, sehingga ia menjadi terasing dari dirinya sendiri dan dari Tuhannya. Inilah yang disebut situasi kehampaan spiritual. Dan itu terjadi akibat gaya hidup serba kebendaan di zaman modern yang menyebabkan manusia sulit menemukan dirinya dan makna hidupnya yang terdalam.
Dalam tulisannya yang berjudul “Hegemoni Budaya Benda” (2000), Prof.Dr.Komaruddin Hidayat secara jelas menunjukkan pandangan kesufiannya. Menurut mantan ketua Panwaslu Pusat yang sangat dekat dengan anak-anaknya ini, ada banyak cara untuk meningkatkan kesucian jiwa manusia sehingga dengan begitu manusia kembali ke natur bawaan atau kecenderungan primordialnya yaitu selalu rindu untuk dekat kepada Tuhan. Salah satunya ialah dengan berupaya membangun pola hidup yang mengorientasikan diri pasa aspek ruhani atau spiritual, dan melepaskan pandangan keduniaan yang serba benda ini. Dalam tradisi sufisme atau mistisisme pola hidup yang demikian dinamakan pola hidup zuhud. “Dan Islam secara teoritis amat kaya dengan dimensi sufisme atau mistik ini, dan barangkali merupakan paket yang bisa disumbangkan kepada masyarakat modern yang terkepung oleh hegemoni benda-benda,” tegas beliau.
Pola hidup zuhud itulah yang sering disampaikan Prof.Dr.Komaruddin Hidayat dalam forum-forum pengajian dimana ia berkesempatan menjadi narasumbernya. Dalam pengamatan Prof.Dr.Komaruddin Hidayat, antusiasme masyarakat perkotaan terhadap tasawuf begitu tinggi. “Tidak sedikit dari kalangan elit kota yang kemudian, setelah memahami dan mendalami tasawuf, mengalami perubahan sikap hidup menjadi lebih bersahaja, kalau tidak bisa dikatakan zuhud. Sikap hidup zuhud ternyata lebih memberikan ketenangan, jauh dari stres, dibandingkan dengan sikap hidup ngoyo dan ngotot mengejar kekayaan materi yang tak pernah terpuaskan.”
Pandangan kesufian Prof.Dr.Komaruddin Hidayat memiliki spektrum dan cakupan yang amat luas. Ia bahkan juga bicara soal-soal yang berkaitan dengan gejala alam raya dari perspektif sufistik. Ketika bencana alam berupa gempa dan gelombang tsunami menerjang bumi Nanggroe Aceh Darussalam dan Sumatera Utara, Beliau menulis artikel di harian Kompas edisi 11 Januari 2005 untuk melihat pesan mistis dari bencana yang amat dahsyat tersebut. Dalam artikelnya yang berjudul “Kosmosentrisme Religius”, Prof.Dr.Komaruddin Hidayat menekankan perlunya kearifan dalam memperlakukan alam raya sebagai himpunan Asma Tuhan. Manusia adalah bagian integral dari alam, bukan penguasa alam. Kearifan kuno mengajarkan keserasian antara habit, habitus, dan habitat. Ketika manusia sebagai habitus mengambil sikap eksploitasi dan konfrontasi terhadap habitat alamnya, maka manusia pasti kalah. Bukti kekalahan manusia ketika konfrontasi terhadap alam semakin banyak. “Kini saatnya kita merenung dan menyadari betapa rapuhnya sesungguhnya posisi kita di hadapan semesta,” tegasnya.
Menurut mantan Direktur Perguruan Tinggi Agama Islam (Diperta) Depag ini, alam disebut kosmos karena indah dan teratur. Begitulah Tuhan menciptakan. Hanyalah manusia yang memiliki potensi untuk merusak keteraturan alam, bukan makhluk lain. Namun, sehebat apa pun kekuatan manusia untuk melawan alam, tidak mungkin manusia akan bisa memenangkannya. Apa yang bisa diraih dan ditaklukkan manusia, terlalu kecil di hadapan semesta yang tak terbatas. Lalu, di mana kebesaran manusia? Kata kitab suci di samping karena akalnya, dalam diri manusia terdapat ruh ilahi. Jika ruh ilahi ini yang mengendalikan kehidupan, seseorang akan bisa merasakan nikmatnya bernyanyi dan bertawaf bersama tarian dan gerakan tawaf jagat raya. Bahkan bumi, laut, dan planet di sekitar kita, semuanya senantiasa melayani manusia. Matahari diperintah Tuhan untuk menciptakan penguapan air laut. Giliran angin membawa ke daratan agar menjadi mendung dan hujan. Lalu Bumi dengan gembira menampungnya dan menyuruh benih tanaman tumbuh untuk melayani kebutuhan manusia. Demikianlah, ketika seharian manusia telah lelah bekerja, malam dipanggil untuk menyelimuti agar tidurnya lelap. Begitu pemurahnya Bumi sehingga ia disebut Ibu Pertiwi, sosok yang senantiasa mencintai, memberi, danmelayani, tetapi tak pernah mengharap balas budi.
Bencana tsunami di Aceh dan Nias, bagi Prof.Dr.Komaruddin Hidayat, merupakan peringatan dan panggilan terhadap kesadaran kosmosentrisme religius, sebuah kritik terhadap paradigma antroposentrisme sekuler yang menjadikan intelektualitas manusia sebagai puncak ukuran kebenaran sehingga secara sistemik masyarakat modern telah menghancurkan habitatnya sendiri. Kita, katanya, dituntut untuk berkawan, santun, dan mencintai alam tanpa terjatuh untuk menyembahnya sebagai Tuhan karena alam adalah jejak-jejak kebesaran dan kasihNya. Jika kita berkawan dengan alam, katanya, maka kita bernyanyi dan menari bersama tarian alam semesta. Ia pun mengutip kata-kata indah dari Gary Zukav, penulis The Dancing Wu Li Masters: “Mata hatinya tidak lagi mampu melihat dan menikmati tarian alam yang begitu indah yang merupakan rumah kita.”

2.3     Bibliography Karya-Karya Prof.Dr.Komaruddin Hidayat
1.         Memahami Bahasa Agama (1996)
2.         Masa Depan Agama (1995)
3.         Tragedi Raja Midas (1998)
4.         Tuhan Begitu Dekat (2000)
5.         Wahyu di Langit, Wahyu di Bumi (2002)
6.         Menafsirkan Kehendak Tuhan (2003)
7.         Psikologi Kematian (2005)
Beberapa artikel yang telah dipublikasikan di beberapa media, diantaranya:
1.      Bertuhan dengan Marah
2.      Keislaman Indonesia
3.      Negara Barat yang Islami
4.      Pernikahan Beda Agama
5.      Islam yang saya pahami
6.      Andaikan dunia ini tiada Islam (?)
7.      Ancaman Demokrasi di Indonesia
9.      Penataan Ruang Publik
40.  Agama Punya Seribu Nyawa, dan masih banyak lagi artikel lainnya

Bab III
Kesimpulan


            Prof. Dr. Komaruddin Hidayat tentu sudah tidak asing lagi dalam dunia pendidikan. Ia adalah salah satu tokoh pendidikan di Indonesia yang saat ini menjabat sebagai rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta Selatan. Menurut Dr. Komaruddin Hidayat, wajah Islam di Indonesia sekarang muram, hal ini bisa dilihat dari maraknya konflik antar masyarakat bahkan tidak hanya pada tingkatan masyarakat grass-root tapi sudah pada tingkat atas (golongan elit).
            Pemikiran Prof.Dr.Komaruddin Hidayat tentang perlunya diadakan pembenahan secara sistemik dalam pendidikan Islam. Sederhananya, bagaimana pendidikan Islam mampu membentuk perilaku individu, kelompok dan sosial yang sesuai dengan rambu-rambu ajaran mulia Islam dan bukan malah mempolitisir agama untuk  kepentingan kelompok tertentu atau untuk mempertahankan kekuasaan.
            Menurut Prof.Dr.Komaruddin Hidayat, di dalam masyarakat yang secara politis ekonomis amburadul, maka manifestasi agama akan muncul sebagai fenomena kolonialisme sosial. Kalau itu terus terjadi agama hanya akan tampil sebagai kekuatan dan identitas kelompok dan bukan ajaran moral. Dan secara besar hati harus diakui bahwa sistem pendidikan agama (islam) merupakan ‘penyumbang’  terbesar atas kondisi yang menyesakkan dada tersebut. Ini dikarenakan sistem pengajaran agama di Indonesia lebih mengutamakan indoktrinasi daripada otonomi, akibatnya potret Islam lebih terkesan pada kecenderungan yang diskriminatif dan anarkis.
            Selain perhatiannya terhadap dunia pendidikan Islam yang memberikan pemifikiran cerdas, Prof.Dr.Komaruddin Hidayat juga memberikan Pandangan-pandangan kesufian yang sudah banyak dikenal, lantaran ia termasuk rajin berceramah tasawuf di berbagai forum. Kekuatan ceramah tasawuf pria penggemar olah raga tenis ini terletak pada metafor-metafor yang dinukil dari kisah-kisah sufi klasik kemudian direfleksikan ke dalam kehidupan aktual saat ini.



Daftar Pustaka


1.             http://www.uinjkt.ac.id/index.php/category-table.html
2.             http://www.id.wikipedia.org/wiki/Komaruddin_Hidayat
3.             http://www.paramadina.wordpress.com/2007/03/.../prof-dr-komaruddin-hidayat/