1.
Latar Belakang Masalah
Membaca artikel dari seorang tokoh sekaliber Komaruddin
Hidayat (dimuat di koran Seputar Indonesia, Jumat 7 Agustus 2009) bukanlah hal
yang gampang, tentu patut disimak. Artikel berikut yang saya coba analisis
adalah artikel yang berjudul “ Bertuhan dengan Marah”. Artikel ini sangat
menarik penyampaian bahasa dan ulasannya karena mudah difahami dan banyak
sekali mengandung nilai pendidikan yang bermanfaat bagi siapapun yang
membacanya terutama bagi mereka yang hidup dalam masyarakat beragam agama.
Prof. Dr. Komaruddin Hidayat mengantarkan tulisan artikelnya
dengan tiga pertanyaan yang sangat menggelitik pemikiran kita yang membacanya,
yaitu ; Pertama, apakah Tuhan yang kita imani dan kita sembah itu sama atau
berbeda, mengingat kita memeluk agama yang berbeda.Kedua,bumi yang kita tempati
dan matahari yang setia memancarkan cahaya itu milik Tuhan agama siapa? Ketiga,
mengingat setiap umat beragama meyakini dan mengharapkan nantinya masuk surga,
apakah setiap agama memiliki surga dan neraka masing-masing ataukah surga dan
neraka itu hanya satu untuk semua manusia?
Saat ini dalam kondisi masyarakat kita yang begitu beragam,
maka akan sangat gampang sekali seseorang menjadi marah dengan sesuatu yang
dianggap tidak sejalan dengan pemikirannya, padahal kita semua hidup dalam
masyarakat yang beragam, multi kultur dan keyakinan. Oleh karena itu, membaca
artikel Prof.Dr. Komaruddin Hidayat menjadikan satu referensi lagi buat kita
yang haus akan pemahaman hidup ditengah masyarakat dan bangsa kita yang
menganut ke-bhinekaan. Karena sesungguhnya hidup dengan satu warna akan sangat
terasa membosankan,tapi hidup dengan penuh warna-warni akan terasa indah
semuanya.
2.
Tujuan Penulisan
Dalam penulisan artikel ini, bapak Prof.Dr.
Komaruddin Hidayat memberikan satu pencerahan bagi pemikiran kita tentang bagaimana
menyikapi fakta perbedaan yang ada saat ini dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara yang memiliki multi keyakinan dalam agama yang dianut. Pertanyaan-pertanyaan
yang unik, menarik dan jawabannya problematik. Kalau kita elegan, egaliter dan
toleran mestinya kita sadar bahwa Tuhan milik semua. Tuhan menciptakan untuk
semua. Tanpa membeda-bedakan suku, agama, bahasa dan ras. Jadi kalau Tuhan saja
tidak mempersoalkan, tidak membeda-bedakan, kenapa kita meributkan? Apalagi
kita menjadi bagian suatu bangsa yang cinta damai, saling menghormati, saling
menghargai, menjunjung tinggi toleransi. Marilah kita jaga kedamaian, kita jaga
ketentraman dan kita jaga kerukunan. Terlepas dari perbedaan yang ada. Indahnya
hidup dalam perbedaan.
Oleh karena
itu, tepat rasanya bila kita membaca tulisan artikel dari Prof.Dr. Komaruddin
Hidayat yang berjudul “ Bertuhan dengan Marah” ditengah kondisi masyarakat kita
saat ini yang rentan konflik terhadap perbedaan agama yang mereka anut. Dalam artikel
ini, sang penulis membahas permasalahan tersebut atas analisis psikologi agama
semata, bukan pembahasan filsafat dan aqidah agama.
Karena psikologi,
yang coba difahami dan diberikan penjelasan oleh Prof.Dr. Komaruddin Hidayat
disini adalah bagaimana pandangan dan sikap seseorang memandang orang lain
dengan keyakinan berbeda. Melalui konteks psikologi, kita jadi mengenal lebih
lanjut mengapa seseorang begitu toleran dan ramah dalam beragama, dan mengapa
ada orang yang beragama serta bertuhan dengan mudah marah melihat orang yang
berbeda agama. Bahkan mereka dianggap dan diposisikan sebagai musuh yang mesti
dihancurkan, meskipun tidak saling kenal dan tidak menganggu dalam kehidupan
sosialnya.
Dalam artikel ini, Prof.Dr. Komaruddin Hidayat membuka mata
fikiran kita tentang perlunya makna toleransi beragama. Seperti dalam kalimat
yang beliau tulis “Karena kenyataannya
penduduk bumi ini sangat beragam bahasa, budaya, dan agamanya, dan itu tidak
mungkin dihilangkan, maka suasana batin dalam beragama selalu disertai
kemarahan. Beragama dan bertuhan dengan marah.Kalau berdoa selalu dipanjatkan,
ya Tuhan, hancurkanlah mereka yang kafir, tak ada tempat paling layak bagi
mereka kecuali neraka. Ya Tuhan, mereka itu musuh-musuh kami, juga musuh-Mu,
berilah kami kekuatan iman dan keberanian untuk berperang menghadapi mereka.
Lebih baik kami mati membela kemuliaan-Mu dan agama-Mu daripada kami hidup
terhina tanpa makna”
Dari kalimat artikel yang ditulis
oleh Prof.Dr Komaruddin Hidayat tersebut jelaslah bahwa secara psikologi,dalam
menyikapi perbedaan keyakinan, terkadang kita selalu disertai rasa marah,
menganggap orang yang berbeda keyakinan dengan kita selalu salah dan mesti
dihancurkan. Beranggapan bahwa Tuhan yang kita sembah dengan keyakinan kita
perlu dibela dengan dalih membela agama Tuhan. Padahal dalam berbagai
pencerahan nilai-nilai agama yang dilakukan oleh para pemuka agama selalu
mengatakan bahwa Tuhan itu Maha Kaya, Maha Agung, Maha Kuat yang tidak
memerlukan belas kasih dan pertolongan manusia. Tetapi kenapa manusia sebagai
mahluk bertuhan melakukan hal yang merugikan orang lain dengan cara marah,
meski mereka berdalih apa yang mereka lakukan semata-mata hanya ingin membela
Tuhan mereka.
Dari artikel “Bertuhan dengan Marah”
ini memberikan satu tujuan penting bagi kita yang membacanya bahwa kalau ingin
membela Tuhan bukanlah dengan cara berdo’a yang penuh kemarahan mengharapkan
kehancuran bagi manusia lain yang berbeda keyakinan dengan kita, tetapi membela
Tuhan caranya adalah menyebarkan kasih, mencerdaskan, menyejahterakan, dan
menunjukkan jalan kebenaran dengan cara yang benar. “ Lakum Dinukum Waliyadin”
3.
Artikel
Bertuhan dengan Marah
September 4th, 2009
Ditulis oleh Komaruddin Hidayat Jumat, 07 Agustus 2009 07:35
Tulisan ini pernah dimuat di koran Seputar Indonesia, Jumat 7 Agustus 2009
http://www.uinjkt.ac.id
Dalam suatu forum dialog antarumat beragama,saya pernah
membagi tiga pertanyaan untuk dijawab secara tertulis di awal ceramah saya. Pertama,
apakah Tuhan yang kita imani dan kita sembah itu sama atau berbeda, mengingat
kita memeluk agama yang berbeda.Kedua,bumi yang kita tempati dan matahari yang
setia memancarkan cahaya itu milik Tuhan agama siapa? Ketiga, mengingat setiap
umat beragama meyakini dan mengharapkan nantinya masuk surga, apakah setiap
agama memiliki surga dan neraka masing-masing ataukah surga dan neraka itu
hanya satu untuk semua manusia?
Setelah jawaban terkumpul, cukup menarik jawaban peserta.
Dari sekitar dua ratus peserta yang mayoritasnya beragama Islam, terlihat bahwa
mereka menjawab Tuhan mereka tidak sama. Ketika ditanya bumi ini disediakan
Tuhan untuk pemeluk agama yang mana, jawaban mulai problematik.Begitu pun
ketika diskusi menyangkut surga dan neraka, jawaban juga terbelah.
Ada yang berpandangan, setiap pemeluk agama nantinya akan
disediakan surga dan neraka masing-masing, sehingga tidak perlu ancammengancam
dengan neraka terhadap umat beragama yang berbeda. Ada pula jawaban yang
menyebut surga dan neraka itu satu untuk semuanya,dan mereka yang berbeda
keyakinan agama dipandang tersesat dan kafir sehingga ancamannya neraka. Saya
membahas problem di atas semata dari analisis psikologi beragama, bukan
pembahasan filsafat dan akidah agama.
Karena psikologi, yang saya ingin dengarkan dan pahami adalah
bagaimana pandangan dan sikap seseorang memandang orang lain dengan keyakinan
yang berbeda. Dengan demikian saya ingin mengenal lebih lanjut mengapa
seseorang begitu toleran dan ramah dalam beragama, dan mengapa ada orang yang
beragama serta bertuhan dengan mudah marah melihat orang yang berbeda agama.
Bahkan mereka itu dianggap dan diposisikan sebagai musuh yang mesti
dihancurkan, meskipun tidak saling kenal dan tidak mengganggu dalam kehidupan
sosialnya.
Mungkin karena diskusi berlangsung lintas agama, berbagai
jawaban terhadap tiga pertanyaan di atas tidak muncul secara bebas dan
transparan, agar tidak menyinggung perasaan umat lain. Tetapi ketika dibahas
dalam forum kecil sesama mereka sendiri,mulai kelihatan lebih jelas sikap
aslinya. Di antaranya ada orang yang beragama dan bertuhan disertai sikap
marah. Hatinya tidak rela melihat bumi ini dihuni dan dimakmurkan oleh umat
yang berbeda keyakinan agama.
Tidak rela melihat orang lain lebih maju dan sejahtera di
bumi Tuhan yang dia imani dan dia sembah. Namun karena kenyataannya penduduk
bumi ini sangat beragam bahasa, budaya, dan agamanya, dan itu tidak mungkin
dihilangkan, maka suasana batin dalam beragama selalu disertai kemarahan.
Beragama dan bertuhan dengan marah.Kalau berdoa selalu dipanjatkan, ya Tuhan,
hancurkanlah mereka yang kafir, tak ada tempat paling layak bagi mereka kecuali
neraka.
Ya Tuhan, mereka itu musuh-musuh kami, juga musuh-Mu, berilah
kami kekuatan iman dan keberanian untuk berperang menghadapi mereka. Lebih baik
kami mati membela kemuliaan-Mu dan agama-Mu daripada kami hidup terhina tanpa
makna.
Membela
Tuhan dengan Bom?
Dalam berbagai kesempatan, sering saya mendengarkan ceramah
seorang ustaz, bahwa Tuhan itu Mahaagung dan Mahakaya, tidak memerlukan belas
kasih dan pertolongan manusia.Kebaikan dan kejahatan yang dilakukan manusia
tidak akan mengurangi keagungan dan kebesaran-Nya.
Begitu pun kejahatan yang diperbuat manusia tak akan
mengurangi sifat-Nya yang rahmandan rahim. Tuhan menciptakan semua ini dan
mengirim rasul-Nya semata karena kasih-Nya pada manusia untuk memakmurkan bumi,
menciptakan bayang-bayang surgawi di dunia.Karena itu,asma Tuhan yang selalu
dikenalkan dan agar selalu disebut dan diingat oleh manusia adalah Dia Yang
Pengasih dan Penyayang.
Siapa pun yang mencintai Tuhan dan berakhlak dengan
sifat-sifat ilahi hendaknya menjadi pribadi penyebar damai dan kasih sayang
untuk lingkungannya. Pribadi yang berkualitas sifat ilahi itu dalam Alquran
sering dimisalkan dengan kata “cahaya” dan “air”.Bagi masyarakat padang pasir
tatkala Alquran diturunkan, cahaya dan air benar-benar dirasakan sebagai
penerang dan sumber kehidupan paling nyata. Tatkala cahaya datang,kegelapan
akan terhalau.
Ketika air datang, maka sekitar menjadi subur.Cahaya dan air
sifatnya melimpah dan memberi tanpa diskriminasi dan preferensi. Memberi tanpa
minta imbalan kembali. Begitulah Alquran menggambarkan misi ajaran Nabi
Muhammad yang disebarkan untuk seluruh manusia. Jadi, sejak awal mula para
Rasul itu adalah figur-figur pembangun peradaban dan sangat membenci
penindasan. Menindas dan membunuh orang yang tidak dalam posisi menyerang
adalah kesalahan dan dosa besar.
Karena itu, sangat bertentangan dengan nalar sehat, dengan
hukum negara, dengan nurani masyarakat, dengan ajaran agama, mereka yang
meledakkan bom dengan dalih membela Tuhan dan membela agama.Tuhan tidak perlu
dibela. Kalau ingin membela Tuhan caranya adalah menyebarkan kasih,
mencerdaskan,menyejahterakan, dan menunjukkan jalan kebenaran dengan cara yang
benar.
Ketika dulu rakyat Nusantara ditindas oleh penjajah, maka
dibenarkan mengangkat senjata melawan mereka. Ketika rakyat Palestina dibantai
oleh tentara Israel dan tanahnya direbut, mereka dibenarkan melawan dengan
senjata. Begitu pun perlawanan dan keberanian tentara Vietnam sangat mengagumkan
ketika melawan tentara Amerika yang ingin menguasai tanah dan rakyat di sana.
Tetapi ketika bom diledakkan di Indonesia,yang merupakan
negeri dengan penduduk muslim terbesar, tempat melaksanakan ajaran Islam tak
ada halangan suatu apa pun, sungguh itu suatu tindakan kriminal melawan
kemanusiaan dan pesan dasar agama. Lebih menyedihkan lagi adalah para korban
itu juga penduduk Indonesia yang muslim yang mesti menanggung ekonomi
keluarganya. Mesti mencarikan nafkah dan biaya untuk pendidikan anakanaknya.
Orang asing yang jadi korban juga sahabat warga Indonesia.
Makanya sangat sulit dan absurd ketika kemarahan itu diberi label sebagai
pembelaan terhadap Tuhan dan kemuliaan Islam. Secara psikologis mereka itu
pribadi yang hidupnya gelisah, mengalami disorientasi nilai, muatan informasi
pada jaringan sarafnya terkena virus doktrin yang menyesatkan, tak ubahnya
narkoba yang menghancurkan nalar sehatnya,sehingga tindakannya bisa tak
terduga.
Untuk itu pendekatannya tidak cukup hanya dari segi keamanan.
Perlu melibatkan sosok-sosok yang dicintai dan disegani, terutama orang tua,
istri, dan anak-anaknya. Seperti digambarkan dalam film, salah satu cara
efektif untuk menangkap musuh adalah melalui mediator anak atau istri tercinta.
Ketika itu ternyata tidak mempan, maka semakin membuktikan bahwa otak para
teroris itu memang sudah rusak.
Doktrin utamanya hanyalah menghancurkan siapa pun yang dia
anggap musuh.Tuhan yang mereka yakini dan persepsikan adalah Tuhan yang lemah
sehingga perlu dibantu dengan paksa siapa yang tidak menyembah-Nya. Tuhan yang
mereka yakini bukan Tuhan sumber kasih dan sayang, melainkan Tuhan yang haus
darah korban, persis seperti dewa kuno yang selalu minta pengorbanan nyawa
manusia.
Mereka itu ingin mengatur-atur Tuhan Mahaagung dan Mahakasih
oleh nalar dan nafsunya yang sakit dan sempit karena sudah terkena virus
permusuhan pada siapa pun yang berbeda keyakinan. Lebih dari itu para teroris
itu juga mengacau dan menghancurkan usaha-usaha kemanusiaan dan intelektual
para anak bangsa dan ormas besar yang ada, misalnya Muhammadiyah dan NU, yang
tak henti-hentinya memperjuangkan Islam yang ramah, damai dan cerdas untuk
memajukan bangsa ini. Namun semua itu jadi berantakan karena sabotase mereka.
Belum lagi hubungan antara Indonesia- Malaysia juga terlukai
akibat gembong teroris dari negeri jiran itu. Dilihat dari segi apa pun para
teroris itu ternyata hanya menghancurkan usaha-usaha mulia para ulama
Indonesia, para diplomat, pengusaha dan pemerintah.(*)
Categories: Spiritualism
4.
Biography Prof.Dr.Komaruddin Hidayat
Komaruddin
Hidayat (lahir di Magelang, Jawa Tengah, 18 Oktober 1953; umur 58 tahun)[1]
adalah rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta untuk periode 2006-2010.[1]
Selain sebagai akademisi, ia juga menjadi penulis
kolom di beberapa media massa.[2]
Kemampuan inteletualitasnya ia tunjukkan dengan menjadi peneliti di
beberapa lembaga kajian dan penelitian.[2]
Karier
Sejak kecil Komar dekat dengan dunia Islam utamanya pesantren.[2]
Komarudin merupakan Alumni pesantren modern Pabelan, Magelang
(1969) dan Pesantren al-Iman, Muntilan
(1971).[2]
Setelah lulus dari pesantren, ia melanjutkan studi sarjana muda (BA) di bidang
Pendidikan Islam (1977) dan sarjana Lengkap (Drs.) di bidang Pendidikan Islam
(1981) di IAIN Jakarta.[1]
Komar melanjutkan studi doktoral ke luar negeri.[1] Ia
Meraih doktor di bidang Filsafat Barat di
Middle East Techical University, Ankara, Turkey (1990).[1]
Pada 17 Oktober 2006, dalam rapat senat yang dipimpin oleh Azyumardi Azra,
di Auditorium utama UIN Syarif Hidayatullah, Komar terpilih sebagai rektor
universitas tersebut.[1] Ia
memenangi pemilihan suara atas dua kandidat lainnya yakni Prof. Dr. Masykuri
Abdillah dan Prof. Dr. Suwito.[1]
Komar merupakan kolumnis di beberapa media massa
seperti Harian Kompas dan Seputar Indonesia dan Republika.[2]
Selaku akademisi, Komar menjadi Dosen pada Fakultas Pasca Sarjana IAIN Jakarta
(sejak 1990), dosen pada Fakultas
Pasca Sarjana Universitas Indonesia (sejak 1992), dosen Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara (sejak 1993).[2]
Selain sebagai dosen, ia juga sebagai Dewan
Redaksi majalah Ulumul Qur`an (sejak
1991), Dewan Redaksi jurnal Studia Islamika (sejak 1994), Dewan Editor dalam
penulisan Encylopedia of Islamic World, dan Direktur
pada Pusat Kajian Pengembangan Islam Kontemporer, UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta (sejak 1995).[3]
Sejak tahun 1990, ia merupakan salah satu peneliti tetap Yayasan Wakaf
Paramadina, Jakarta.[3]
Perjalanan
hidup
Komaruddin lahir di keluarga miskin di Muntilan.[4]
Meski keadaan tidak menguntungkan, ia memiliki motivasi
kuat dalam meraih pendidikan yang terbaik.[rujukan?]
Untuk meraih keberhasilan, Komar memiliki motivasi besar yang dilatarbelakangi
empat hal.[4]
Empat hal inilah yang menjadi titik
balik bagi hidupnya.[rujukan?]
Pertama, kondisi kampung
halaman yang menyedihkan.[rujukan?]
Kedua, wafatnya ibu sejak kecil.[4]
Ketiga, sosok neneknya, Qomariyah, yang arif dan menanamkan semangat kehidupan
yang besar.[4]
Keempat, hadirnya sosok Kiai Hamam Ja’far dan kondisi pesantren yang menjadi latar sosial tempat dirinya tumbuh menjadi sosok yang
dewasa.[4]
Nenek Komar adalah orang yang arif.[rujukan?] Ia
menggantikan peran ibu yang telah meninggalkannnya sejak kecil.[4]
Selain kagum terhadap neneknya, Komar juga mendapat dorongan motivasi dari Kiai
Hamam Ja’far di Pesantren Pabelan, Magelang.[rujukan?]
Komar menilai, sosok Kiai Hamam yang sudah dianggap sebagai ayahnya itu seperti
sosok Nabi Musa.[4]
Yakni, figur pemimpin, panutan, dan pemberi petunjuk yang selalu bersikap keras
untuk menaklukkan ketimpangan dan kemiskinan.[4]
Kiai Hamam mengajarkan Komar bahwa manusia punya hak
untuk merdeka, untuk hidup.[4] Kiai
Hamam menunjukkan semangat dan etos
kerja tinggi yang ditunjukkan Nabi
ketika hijrah.[4]
Komar juga mendapat pesan bahwa prinsip
hidup harus seperti air.[rujukan?]
Kalau mengenang saja, ia akan menjadi sumber penyakit, sementara apabila
mengalir, ia akan menjadi bersih.[4]
Berkat motivasi tersebut, Komar merantau ke Jakarta
pada usia 18 tahun sehingga akhirnya beberapa capaian ia raih, antara lain
mendapat kesematan belajar di luar negeri dan menjadi rektor universitas.[4] Ia
juga telah berkeliling ke 30 negara dalam rangka seminar dan studi
komparatif untuk masalah kebudayaan
dan pengembangan keagamaan dengan berbagai universitas dan NGO.[3]
Biografi lengkap
Berikut biografi
lengkap Komarudin Hidayat.[5]
Jabatan
- Rektor UIN Jakarta, 2006-2010
- Ketua Panitia Pengawas Pemilu 2004
Pendidikan
- Ponpes Pabelan, Magelang (1969)
- Sarjana Fakultas Ushuludin IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta (1981)
- Master and PhD Bidang Filsafat pada Middle East Technical University, Ankara, Turki (1995)
- Post Doctorate Research Program di Harfort Seminary, Connecticut, AS, selama satu semester (1997)
- International Visitor Program (IVP) ke AS (2002)
Pengalaman
kerja
- Guru Besar Filsafat Agama, UIN Jakarta (sejak 2001)
- Direktur Eksekutif Yayasan Paramadina (1996-2000)
- Associate Trainer/Consultant bidang HRD pada Vita Niaga Colsultant (sejak 1999)
- Dosen Tetap Institut Bankir Indonesia (sejak 2000)
- Dosen Pascasarjana Universitas Gadjah Mada (sejak 2003)
- Advisory Board Member of Common Ground Indonesia (sejak 2001)
- Ketua Panitia Pengawas Pemilu Pusat (2003-2004)
- Chairman pada Indonesia Procurement Watch (sejak 2002)
- Direktur Eksekutif Pendidikan Madania (sejakn 2001)
- Dewan Pertimbangan Pendidikan DKI Jakarta (sejak 2004)
- Direktur Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta (sejak 2005)
- Anggota Badan Standar Nasional Pendidikan RI (sejak 2005)
- Ketua Panitia Pengawas Pemilu, 2004
- Rektor UIN Jakarta, 2006-2010
Karya tulis
- Memahami Bahasa Agama (1996)
- Masa Depan Agama (1995)
- Tragedi Raja Midas (1998)
- Tuhan Begitu Dekat (2000)
- Wahyu di Langit, Wahyu di Bumi (2002)
- Menafsirkan Kehendak Tuhan (2003)
- Psikologi Kematian (2005)
Referensi : www.rahasiaotak.com/bertuhan-dengan-marah/
Ditulis oleh Komaruddin Hidayat
Jumat, 07 Agustus 2009 07:35
Tulisan ini pernah dimuat di koran Seputar Indonesia, Jumat 7 Agustus 2009
http://www.uinjkt.ac.id
Jumat, 07 Agustus 2009 07:35
Tulisan ini pernah dimuat di koran Seputar Indonesia, Jumat 7 Agustus 2009
http://www.uinjkt.ac.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar