Dianalisis Oleh: Kelompok V
Saipul Effendi
Arsaniadil Fajri
Andi Prabowo
Haryono
Muhtar
PROGRAM PASCA SARJANA
MAGISTER TEKNOLOGI PENDIDIKAN
UNIVERSITAS JAMBI
2011/2012
Judul
Artikel : Budaya Korupsi dan
Pendidikan
(Budaya
Korupsi dan Korupsi Budaya : Tantangan Bagi Dunia Pendidikan)
Penulis :
Dr. Uhar Suharsaputra,M.Pd
Tahun :
05 Mei 2012
2. Tujuan penulisan artikel / Pokok bahasan oleh
penulisnya:
2.1. Menjelaskan
tentang fenomena korupsi yang terjadi dari awal sejarah manusia hingga sekarang
2.2. Menjelaskan
tentang budaya korupsi dan korupsi budaya
2.3. Menjelaskan
tentang pengertian korupsi
2.4. Menjelaskan
penyebab terjadinya korupsi
2.5. Menjelaskan
hal-hal yang memungkinkan timbulnya korupsi
2.6. Memberikan
gambaran tentang dampak dari perbuatan korupsi
2.7. Memberikan
solusi bagaimana menanggulangi korupsi
2.8. Menjelaskan
bagaimana peran pendidikan dalam menanggulangi korupsi
3.
Fakta-fakta filsafat dan ilmu pendidikan yang ditemukan dan ada
kaitannya
dengan artikel pokok bahasan.
3.1. Materialisme, korupsi itu terjadi karena kepentingan terhadap materi dan
kedudukan yang tidak pernah puas, siapa
yang mampu memberi materi terbanyak maka seseorang tersebut akan memperoleh
segala fasilitas yang diinginkan.
3.2. Idealisme : Penulis mengemukakan istilah budaya korupsi dan korupsi budaya
dari sudut pandangnya dan memberikan ide bagaimana menanggulangi korupsi dengan
cara preventif dan refresif
3.3. Realisme: Penulis mengemukakan kenyataan yang ada tentang fakta korupsi
yang ada di Indonesia sudah menjadi budaya di semua sektor kehidupan masyarakat.
3.4. Pragmatisme : Penulis menjelaskan bahwa korupsi bukanlah hal absolut yang
tidak bisa dituntaskan tetapi tetap saja ada jalan keluar untuk
menanggulanginya
4.
Pertanyaan-pertanyaan yang dapat diajukan berkenaan dengan artikel ini :
4.1. Apa
pengertian korupsi?
4.2. Bagaimana
histori korupsi di Indonesia?
4.3. Apa
penyebab terjadinya korupsi?
4.4. Berikan
penjelasan tentang kondisi yang bisa menciptakan korupsi?
4.5. Apa
dampak yang akan ditimbulkan oleh korupsi?
4.6. Bagaimana
cara menanggulangi korupsi?
4.7. Apa Peran Pendidikan dalam
menanggulangi korupsi ?
5.
Beberapa konsep/prinsip filsafat pendidikan yang berkaitan dengan
artikel ini :
Setelah
membaca artikel ini, maka kami mengkritisi bagaimana penulis artikel
menggunakan model filsafat dalam penulisan artikelnya, antara lain :
5.1. Model
Spekulatif; dimana penulis memiliki rasa kebebasan untuk membicarakan apa saja mengenai
korupsi sesuai dengan pengalaman dan pengetahuan yang dia dapat dalam
kehidupannya sebagai mahluk sosial dimasyarakat
5.2. Model
Preskriftif; penulis berusaha untuk menghasilkan suatu ukuran penilaian tentang
perbuatan manusia yang korup, memberikan penilaian bagaimana korupsi bisa
membudaya dalam masyarakat.
5.3. Model
Analitik; penulis menyajikan tulisannya dalam bentuk analitik linguistik
(bahasa) yang memberikan pendekatan kepada pembaca bagaimana memahami makna
dari kalimat budaya korupsi dan korupsi budaya.
Pada tatanan nilai
filsafat, menurut analisis kami maka pemikiran penulis adalah pemikiran seorang
idealis dan realis, karena dia menyajikan idenya yang berpandangan secara nilai
spiritual yang lebih tinggi dari pada penilaian material dan menempatkan nilai
rasional serta empiris pada tingkatan teratas pembahasannya.
6.
Refleksi Diri dari penganalisis terhadap analisis kritis dari artikel
ini :
6.1.
Saipul Effendi
Dalam artikel ini, penulis
memberikan judul yang begitu kontroversi dengan menekankan pada “korupsi
sebagai budaya”, dalam hal penulisan judul ini, saya rasa penulis mengemukakan
kepeduliannya pada fakta yang ada dilingkungannya dimana korupsi sudah terjadi
dari sejak zaman dahulu secara histori hingga sekarang, dan ini semua sudah
seperti suatu warisan yang turun temurun dari nenek moyang terhadap masyarakat
kita saat ini sama halnya dengan budaya, sehingga penulis menjabarkan isi
tulisannya yang menarik dari segi bahasa tentang korupsi yang sudah membudaya.
Nilai-nilai yang terkandung dalam penulisan
artikel ini menjabarkan bagaimana korupsi tersebut telah menghancurkan nilai
etika serta norma sosial dan nilai agama. Korupsi adalah persoalan nilai yang
buruk,makanya diperlukan suatu terobosan yang baru terhadap nilai-nilai
tersebut agar tidak berkembang menjadi sesuatu yang mendarah daging dalam sendi
kehidupan bermasyakat, berbangsa dan bernegara.
Manfaat dari penulisan artikel ini
adalah memberikan pemahaman yang jelas kepada kita semua tentang makna korupsi
yang secara menyeluruh,memahami penyebab terjadinya korupsi,memberikan berbagai
macam pilihan cara penanggulangan korupsi, serta menjelaskan bagaimana peran
pendidikan sangat diperlukan dalam mengurangi korupsi sehingga tidak terus
berkembang menjadi suatu perbuatan yang membudaya.
Solusi yang tepat menurut saya
setelah menganalisis artikel ini adalah pentingnya peran pendidikan dalam
mendidik dan mengajarkan masyarakat untuk tidak berbuat korupsi. Pendidikan
tersebut hendaknya dimulai dari lingkungan terkecil manusia dahulu yaitu keluarga,kemudian
pengajaran dan pendidikan disekolah dengan memasukkan mata pelajaran anti
korupsi kedalam kurikulum,sehingga ketika para peserta didik masuk ke
lingkungan masyarakat, maka dia dapat menerapkan nilai-nilai yang dia dapat
dalam pendidikannya agar anti korupsi. Apabila lingkungan keluarga ditunjang
dengan pendidikan dan keteladanan yang baik serta adanya dukungan pendidikan
disekolah, maka perbuatan korupsi dilingkungan masyarkat yang berbangsa dan
bernegara akan dapat dicegah serta akan menyebabkan bangsa yang semakin maju
tanpa ada penurunan nilai moral masyarkatnya karena perbuatan korupsi
6.2.
Arsaniadil Fajri
Dari
artikel ini ada beberapa hal yang tidak sesuai dengan kondisi saat ini di
Indonesia. Disetiap negara pasti ada korupsi begitupun dengan Indonesia. Tetapi
saya tidak setuju dengan kata-kata korupsi sebagai budaya di Indonesia, karena
masih banyak aparat pemerintahan yang bersih dan tidak terkontaminasi dengan
perbuatan korupsi.
Fenomena
korupsi memang sudah terjadi dari awal sejarah manusia hingga sekarang, akan
tetapi dari artikel ini ada manfaat yang bis diambil dan menjadi suatu solusi
untuk permasalahan korupsi di Indonesia, walaupun tidak mungkin menghilangkan
korupsi secara keseluruhan (total), tetapi dengan meningkatkan ancaman hukuman
yang berat bagi para koruptor, maka korupsi akan bisa dikurangi seminimum
mungkin.
Menurut saya secara pribadi,
maraknya korupsi itu meenunjukkan mentalitas orang tersebut yang salah, oleh
karena itu ada baiknya dari sedini mungkin tentang bahaya perbuatan korupsi
tersebut sudah kita kenalkan kepada anak didik kita dari awal pendidikan dasar
yang masuk dalam bentuk kurikulum maupun memperbanyak pemberian
penyuluhan/informasi tentang bahaya korupsi kepada anak-anak dimulai dari
sekolah dasar. Jadi, dengan pengenalan bahaya korupsi dari sedini mungkin,
diharapkan agar mental generasi muda bisa bersih dari fikiran dan perbuatan
yang merugikan orang lain, keluarga, berbangsa dan bernegara
6.3.
Andi Prabowo
Dalam
artikel ini yang menjadi kontroversinya
adalah menggambarkan bahwasanya korupsi merupakan suatu hal yang ada sejak lama
yang lahir dan terus berkembang bahkan diwariskan secara turun temurun hingga
saat sekarang. Dalam keadaan sekarang, dimasa modren terkadang ketika seorang
memberikan sesuatu baik berbentuk barang atau uang ketika mengerjakan sesuatu
agar urusannya menjadi lancar tanpa hambatan terkadang tidak mau mengakui bahwa
yang telah dilakukan tersebut adalah korupsi.
Budaya
kita yang mulai tumbuh mulai dari budaya animisme ketika terbiasa memberikan
sesuatu pada sesuatu untuk menenangkan
dan menguatkan kedudukan diri didalam kehidupan. Bahkan dalam kehidupan
modren seperti sekarang kata-kata serta perbuatan korupsi merupakan sesuatu
yang biasa saja. Hal ini yang menyebabkan prilaku mengkorup budaya serta
menjadikan korupsi secara perlahan-lahan menjadi budaya. Contoh, ketika seorang
melakukan pekerjaan, untuk memperlancar urusannya seseorang akan memberikan
barang atau uang. Barang atau uang tersebut dibahasakan sebagai pelancar, hal
ini sudah biasa bagi masyarakat sehingga sudah tidak tabuh lagi bagi seseorang
untuk melakukan hal ini karena sudah membudaya di masyarakat.
Dalam cakupan
kebudayaan, korupsi memiliki nilai yang menghancurkan norma, etika serta aturan
yang ada. Ini dikarenakan korupsi menanamkan nilai kebohongan yang tidak jujur
mulai dari diri sendiri dan cendrung merugikan orang lain. Budaya korupsi ini
secara harfiah tidaklah gampang untuk membedakannya dengan nilai ketimuran kita
yang terkenal dengan adat berterimakasih terhadap orang lain. Namun korupsi
merupakan nilai yang buruk dan harus dikikis secara perlahan mulai dari diri
sendiri, ketika pendidikan yang pertama dilakukan yaitu lingkungan keluarga.
Biasakanlah pada
keluarga untuk tidak korupsi baik itu hal yang sepele dan kecil seperti ketika
kita disuruh orang tua berbelanja, ketika ada sisa uang belanja tersebut
usahakan ajarkan kepada anak untuk mengembalikan terlebih dahulu kepada orang
tua, walaupun terkadang ini sepele, inilah sikap awal korupsi dari hal kecil
dan akan terus terpatri dan membudaya pada diri kita. Sehingga solusi terbaik
adalah memulai dari diri sendiri, memulai dari keluarga dan memulai membiasakan
tidak mengambil hal yang bukan hak kita walaupun itu terlihat kecil dan tidak
bernilai. Dengan demikian budaya korupsi dan korupsi budaya yang dimaksud bisa
dikikis secara perlahan sejak dini
6.4.
Haryono
Menurut saya, di Indonesia perbuatan
korupsi hampir sudah memasuki seluruh sendi kehidupan masyarakat, sebagai
contoh yang terjadi di sekolah-sekolah yang mengadakan pungutan-pungutan yang
kurang jelas, dan juga adanya korupsi waktu yang dilakukan oleh para majelis
guru.
Korupsi di Indonesia bisa tumbuh dan
berkembang dengan subur karena tidak adanya sanksi yang bisa membuat efek jera
bagi para koruptor, karena perbuatan korupsi tersebut terjadi dilingkungan
lembaga penguasa, penegak hukum serta partai politik, maka akan memudahkan
terjadinya konsfirasi guna menutup-nutupi perbuatan korupsi dari seorang
koruptor yang berkuasa dan ini terjadi dalam waktu yang berlarut-larut serta
turun –temurun.
Menurut saya, cara mengatasi bahaya
korupsi yang sudah membudaya adalah dengan cara memberikan sanksi yang berat
kepada para koruptor dn mengembalikan hasil korupsinya berlipat-lipat,
mempermalukannya karena perbuatan korupsinya melalui media secara besar-besaran
serta memiskinkan para koruptor agar tidak bisa dicontoh oleh individu masyarakat manapun.
6.5.
Muhtar
Dalam artikel ini terdapat kontroversi yang ada ditengah masyarakat kita,
yaitu perbuatan korupsi yang membudaya. Perkembangan korupsi bisa terjadi
semakin subur karena penanaman nilai yang salah pada personaliti seseorang
sejak awal. Karena pada dasarnya perbuatan korupsi tersebut adalah perbuatan
yang memberikan keuntungan bagi yang memberi dan yang menerima.
Pada saat ini yang terjadi adalah perbuatan korupsi yang dipatok ukurannya.
Sebagai contoh nyata adalah pada proses penerimaan tenaga PNS, dalam masyarakat
sudah menjadi rahasia umum bahwa untuk menjadi seorang tenaga PNS maka telah
ditentukan/dipatok besaran yang harus dibayarkan. Padahal perbuatan ini jelas
sekali merugikan orang lain yang mampu bersaing dengan nilai yang murni. Budaya
korupsi seperti inilah yang lagi tumbuh subur dinegeri ini.
Bagi saya, solusi yang tepat terhadap permasalahan yang diangkat dalam
artikel ini adalah adanya regulasi yang tegas terhadap para koruptor sehingga
memberi efek jera bagi dirinya dan orang lain, memberikan pendidikan yang benar
serta menanamkan nilai-nilai norma serta nilai agama yang baik bagi peserta
didik sedari awal agar terhindar dari perbuatan korupsi kelak jika dia sudah
bekerja bagi kepentingan masyarkat dan negara.
7.
Lampiran Artikel
Budaya Korupsi dan Pendidikan
BUDAYA KORUPSI DAN KORUPSI BUDAYA :
TANTANGAN BAGI DUNIA PENDIDIKAN
Oleh : Dr. Uhar Suharsaputra, M.Pd
1. Pendahuluan
Fenomena korupsi
bukan hal yang baru, mungkin telah ada sejak awal sejarah manusia kecuali pada
masa yang sangat primitif (Alatas, 1983), dimana secara konsep prilaku belum
dikenal meskipun gejalanya bisa saja sudah ada. Korupsi secara historis
merupakan konsep dan prilaku menyimpang secara hukum, ketika secara sosial
polotik telah terjadi pemisahan antara kepentingan pribadi dengan kepentingan
publik, namun pada masa kekuasaan dikaitkan dengan hereditas dan pelimpahan
wewenang dari yang maha kuasa (kekuatan supranatural) dan atau karena
kepahlawanan (knight) yang diikuti dengan perasaan berhak atas keistimewaan
(dengan dukungan diam-diam dari rakyat) maka terdapat kecenderungan untuk
melihat bahwa pemanfaatan berbagai sumberdaya finansial dan non finasial untuk
kepentingan penguasa atau Knight sebagai hal yang wajar meskipun at the
expense of the people, karena keluarbiasaan historis dan kekuasaannya yang
bukan berasal dari rakyat.
Onghokham (1983)
telah mencoba mengkaji masalah korupsi dalam kontek Indonesia, dimana menurut
dia fenomena korupsi telah ada sejak jaman kerajaan-kerajan di indonesia
melalui venality of power, dimana kedudukan diperjualkan kepada orang
atau kelompok yang mampu membayar untuk kemudian mereka diberi kedudukan yang
berhak melakukan pemungutan pajak yang tanpa kontrol hukum sehingga
penyimpangan yang terjadi (abuse of power) sulit diperbaiki karena
lemahnya kontrol pemerintah/kerajaan serta pendiaman oleh masyarakat,. Bahkan
VOC juga melakukan hal ini pada daerah-daerah yang dikuasainya melalui para
demang dan atau bupati/penguasa daerah. Kondisi ini jelas menunjukan bahwa baik
secara universal maupun keindonesiaan, korupsi memppunyai akar historis yang
cukup kuat dalam kehidupan masyarakat, dan makin meningkat seiring dengan upaya
pembangunan yang massif yang menggunakan dana besar dalam bentuk pinjaman Luar
Negeri sebagai bagian inheren bagi hampir semua negara berkembang untuk
meningkatkan mutu hidup masyarakat melalui rezim Developmentalist.
2. Budaya korupsi dan korupsi budaya
Apakah korupsi telah
menjadi budaya?, jawabannya pasti akan bervariasi tergantung apa yang dimaksud
dengan budaya serta kekuatan ikatannya dalam menentukan pola dan norma
kehidupan sosial masyarakat. Moh Hatta pernah menyatakan bahwa korupsi di
indonesia telah menjadi budaya dengan melihat fenomena yang terjadi, namun bila
budaya itu diwariskan apakah nenek moyang kita mengajarkan korupsi atau suatu
perbuatan yang kemudian dalam masa modern disebut korupsi ?, masalahnya jelas
jadi rumit oleh karena itu penyebutan tersebut perlu dilakukan hati-hati atau
harus dengan referensi pemaknaan budaya yang spesifik dengan selalu
memperhatikan continuity and change.
Dalam periode awal
pada setiap daerah/bangsa termasuk Indonesia umumnya melalui fase-fase
kehidupan sosial (August Comte) dari mulai fase teologis, metafisik dan
positif. Budaya dalam arti nilai yang umum dijalankan dalam fase animisme
(teologi, metafisik) guna mengendalikan berbagai kejadian yang
merugikan/merusak kehidupan masyarakat, pemberian sesajen menjadi salah satu
instrumen penting untuk menenangkan dan memperkuat posisi kehidupan manusia,
dengan sesajen diharapkan penguasa supranatural dapat melindungi kehidupan
mereka. Nah kalau demikian apakah manusia berprilaku menyogok (bribery) kepada
kekuatan adi kuasa?, jawabannya bisa ya dan bisa tidak dari sudut pandang
individu itu tergantung niat, namun dari sudut sosial hal itu dimaksudkan
sebagai upaya menjaga keseimbangan kehidupan dengan penguasa supranatural yang
dipandang besar pengaruhnya bagi kehidupan manusia.
Dengan demikian
prilaku menaklukan atau mengendalikan fihak yang menguasai melalui berbagai
upaya pemberian/sesajen telah menjadi bagian dari nilai kehidupan pada masa
animismen, dan jika demikian maka bentuk bentuk korupsi yang terjadi dewasa ini
bisa saja di rujukan pada budaya tersebut, sehingga masalahnya nampak jadi
kompleks dalam konteks perkembangan dunia modern dewaswqa ini.
Namun demikian, hal
yang jelas adalah bahwa korupsi yang terjadi dalam level manapun merupakan hal
yang dapat menghancurkan nilai-nilai etika serta norma sosial dan nilai agama,
sehingga dapat menjadi prilaku yang mengkorupsi budaya, dan ketika secara
bertahap atau sekaligus diterima oleh masyarakat sebagai sesuatu yang wajar,
maka disitu telah terjadi korupsi budaya yang kemudian membentuk budaya
korupsi. Dengan demikian jika pun benar ada budaya korupsi, maka itu sebenarnya
terjadi karena korupsi budaya akibat makin lemahnya kontrol sosial/pengabaian
terhadap upaya mementingkat pribadi diatas kepentingan publik pada saat mereka
mempunyai kedudukan/jabatan atas mandat publik baik langsung maupun tak
langsung.
3. Apa itu korupsi ?
The word corrupt
(Middle English, from Latin corruptus, past participle of corrumpere,
to destroy : com-, intensive
pref. and rumpere, to break) when used as an adjective literally means
“utterly broken” Korupsi (bahasa Latin: corruptio
dari kata kerja corrumpere yang bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok). Secara
harfiah, korupsi adalah perilaku pejabat publik, baik politikus/politisi maupun
pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri
atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan
publik yang dipercayakan kepada mereka (Wikipedia)
Secara istilah Banyak
para ahli yang mencoba merumuskan korupsi, yang jka dilihat dari struktrur
bahasa dan cara penyampaiannya yang berbeda, tetapi pada hakekatnya mempunyai
makna yang sama. Brasz (1963. dalam Lubis,1985) menyatakan bahwa korupsi
merupakan penggunaan yang korup dari derived power atau sebagai
penggunaan secara diam-diam kekuasaan yang dialihkan berdasarkan wewenang yang
melekat pada kekuasaan itu atau berdasarkan kemampuan formal, dengan merugikan
tujuan tujuan kekuasaan asli dan dengan menguntungkan orang luar atas dalih
menggunakan kekuasaan itu dengan syah.
Wertheim (dalam
Lubis, 1970) menyatakan bahwa seorang pejabat dikatakan melakukan tindakan
korupsi bila ia menerima hadiah dari seseorang yang bertujuan mempengaruhinya
agar ia mengambil keputusan yang menguntungkan kepentingan si pemberi hadiah.
Kadang-kadang orang yang menawarkan hadiah dalam bentuk balas jasa juga
termasuk dalam korupsi. Selanjutnya, Wertheim menambahkan bahwa balas jasa dari
pihak ketiga yang diterima atau diminta oleh seorang pejabat untuk diteruskan
kepada keluarganya atau partainya/ kelompoknya atau orang-orang yang mempunyai
hubungan pribadi dengannya, juga dapat dianggap sebagai korupsi. Dalam keadaan
yang demikian, jelas bahwa ciri yang paling menonjol di dalam korupsi adalah
tingkah laku pejabat yang melanggar azas pemisahan antara kepentingan pribadi
dengan kepentingan masyarakat, pemisaham keuangan pribadi dengan masyarakat.
Sementara itu Alatas
(1983) menyatakan bahwa korupsi secara umum adalah apabila seorang pegawai
negeri menerima pemberian yang disodorkan oleh seorang swasta dengan maksud
mempengaruhinya agar memberikan perhatian istimewa pada kepentingan si pemberi.
Lebih lanjut Alatas menyebutkan tiga fenomena yang termasuk dalam korupsi yaitu
bribery, extortion dan nepotism. Dengan demikian korupsi
merupakan gejala salah pakai dan salah urus dari kekuasaan, demi keuntungan
pribadi, salah urus dan kesewenangan terhadap sumber-sumber kekayaan negara
dengan menggunakan wewenang/kekuasaan dan kekuatan kekuatan formal (misalnya
denagan alasan hukum dan kekuatan senjata) untuk memperkaya diri sendiri.
Korupsi terjadi disebabkan adanya penyalahgunaan wewenang dan
jabatan/kekuaasaan yang dimiliki oleh pejabat atau pegawai demi kepentingan
pribadi dengan mengatasnamakan pribadi dan atau keluarga, sanak saudara dan
teman.
4. Apa penyebab korupsi ?
Korupsi selalu
terjadi dalam suatu konteks sosial yang membentuk konsep diri dan definisi
situasi seseorang yang ketika terjadi proses soaial akan mendorng berbagai
kecenderungan muncul sejalan dengan kebiasaan yang ada baik yang terbuka maupun
tertutup. Korupsi cenderung terjadi secara tertutup dan kalaupun terbuka selalu
ada upaya untuk menutupinya. Menurut Wang An Shih tokoh besar Cina yang
hidup pada aban 11, korupasi terjadi karena buruknya hukum dan buruknya
manusia. Yang pertama terkait dengan atribut kelembagaan (institutional
attributes) dan yang kedua dengan atribut masyarakat (societal attributes),
dan secara lebih rinci Alatas (1983) menyebutkan faktor-faktor penyebab
terjadinya korupsi adalah :
- Ketiadaan atau kelemahan kepemimpinan dalam posisi posisi kunci yangg mampu memberikan ilham dan mempengaruhi tingkah laku yang menjinakan korupsi
- Kelemahan pengajaran pengajaran agama dan etika
- Kolonialisme
- Kurangnya pendidikan
- Kemiskinan
- Tiadanya tindak hukum yang keras
- Kelangkaan lingkungan yang subur untuk prilaku anti korupsi
- Struktur pemerintahan
- Perubahan radikal
- Keadaan masyarakat
Penyebab penyebab
tersebut ada yang bersifat kelembagaan, ekonomi, sosial dan individual serta
ada yang bersifat mandiri dan yang bersifat kausal, namun demikian hal yang
dapat dicatat adalah bahwa menghilangkan penyebab secara parsial akan suit
untuk menjamin korupsi akan hilang, paling tidak hanya mengurangi tingkat
kemerajalealaannya dalam kehidupan bangsa.
5. Apa kondisi yang kondusif bagi munculnya korupsi ?
Faktor-faktor
penyebab terjadinya korupsi ada yang bersifat aktual dan potensial dalam arti
bisa saja terjadi perubahan dalam penyebab tidak serta merta dapat menjadi
pengurang terjadinya korupsi karena bila trigger nya menguat. Dan hal ini
terkait dengan kondisi-kondisi yang kondusif bagi terjadinya korupsi.
Kindisi tersebut mencakup hal-hal berikut :
- Konsentrasi kekuasan di pengambil keputusan yang tidak bertanggung jawab langsung kepada rakyat, seperti yang sering terlihat di rezim-rezim yang bukan demokratik.
- Kurangnya transparansi di pengambilan keputusan pemerintah
- Kampanye-kampanye politik yang mahal, dengan pengeluaran lebih besar dari pendanaan politik yang normal.
- Proyek yang melibatkan uang rakyat dalam jumlah besar.
- Lingkungan tertutup yang mementingkan diri sendiri dan jaringan “teman lama”.
- Lemahnya ketertiban hukum.
- Lemahnya profesi hukum.
- Kurangnya kebebasan berpendapat atau kebebasan media massa.
- Gaji pegawai pemerintah yang sangat kecil.
- Rakyat yang cuek, tidak tertarik, atau mudah dibohongi yang gagal memberikan perhatian yang cukup ke pemilihan umum.
- Ketidakadaannya kontrol yang cukup untuk mencegah penyuapan atau “sumbangan kampanye”. (Wikipedia)
Oleh karena itu
disamping diperlukan menghilangkan penyebab-penyebabnya, diperlukan juga upaya
mempersempit ruang gerak atau kondisi yang dapat memicu terjadinya korupsi,
agar upaya pemberantasan korupsi dapat berjalan efektif dan signifikan bagi
penguatan kehidupan berbangsa.
6. Apa akibat/dampak korupsi ?
Meskipun terdapat
beberapa pakar seperti Nathaniel Lef, dan Bayley (meningkatkan investasi,
fleksibilitas administrasi, percepatan penyelesaian pekerjaan terkait
birokrasi) yang melihat ada dampak positif dari korupsi, namun secara
universal korupsi lebih banyak dipandang sebagai prilaku yang berakibat pada
keruksakan tatanan sosial ekonomi dan budaya serta mutu kehidupan masyarakat
suatu bangsa. Nye dalam Revida (2003) menyatakan bahwa akibat-akibat korupsi
adalah :
- Pemborosan sumber-sumber, modal yang lari, gangguan terhadap penanaman modal, terbuangnya keahlian, bantuan yang lenyap.
- ketidakstabilan, revolusi sosial, pengambilan alih kekuasaan oleh militer, menimbulkan ketimpangan sosial budaya.
- pengurangan kemampuan aparatur pemerintah, pengurangan kapasitas administrasi, hilangnya kewibawaan administrasi.
Selanjutnya Mc Mullan
(1961) menyatakan bahwa akibat korupsi adalah ketidak efisienan, ketidakadilan,
rakyat tidak mempercayai pemerintah, memboroskan sumber-sumber negara, tidak
mendorong perusahaan untuk berusaha terutama perusahaan asing, ketidakstabilan
politik, pembatasan dalam kebijaksanaan pemerintah dan tidak represif.
Berdasarkan pendapat para ahli di atas, maka dapat disimpulkan akibatakibat
korupsi diatas adalah sebagai berikut :
- Tata ekonomi seperti larinya modal keluar negeri, gangguan terhadap perusahaan, gangguan penanaman modal.
- Tata sosial budaya seperti revolusi sosial, ketimpangan sosial.
- Tata politik seperti pengambil alihan kekuasaan, hilangnya bantuan luar negeri, hilangnya kewibawaan pemerintah, ketidakstabilan politik.
- Tata administrasi seperti tidak efisien, kurangnya kemampuan administrasi, hilangnya keahlian, hilangnya sumber-sumber negara, keterbatasan kebijaksanaan pemerintah, pengambilan tindakan-tindakan represif. (Revida, 2003)
Dengan demikian
Secara umum akibat korupsi adalah merugikan negara dan merusak sendi-sendi
kebersamaan serta memperlambat tercapainya tujuan nasional seperti yang
tercantum dalam Pembukaan Undang-undang Dasar 1945.
7. Bagaimana menanggulangi korupsi ?.
Kalau korupsi
dibiarkan secara terus menerus tanpa upaya menanggulanginya, maka akan terbiasa
dan menjadi subur dan akan menimbulkan sikap mental pejabat yang selalu mencari
jalan pintas yang mudah dan menghalalkan segala cara (the end justifies the
means). Meskipun berbagai upaya belum tentu dapat menghilangkan korupsi, tapi
paling tidak dapat menguranginya. Untuk itu, korupsi perlu ditanggulangi secara
tuntas dan bertanggung jawab dan masif dengan pendekatan simultan. Ada beberapa
upaya penggulangan korupsi yang ditawarkan para ahli yang masing-masing
memandang dari berbagai segi dan pandangan. Caiden (dalam Soerjono, 1980)
memberikan langkah-langkah untuk menanggulangi korupsi sebagai berikut :
- Membenarkan transaksi yang dahulunya dilarang dengan menentukan sejumlah pembayaran tertentu.
- Membuat struktur baru yang mendasarkan bagaimana keputusan dibuat.
- Melakukan perubahan organisasi yang akan mempermudah masalah pengawasan dan pencegahan kekuasaan yang terpusat, rotasi penugasan, wewenang yang saling tindih organisasi yang sama, birokrasi yang saling bersaing, dan penunjukan instansi pengawas adalah saran-saran yang secara jelas diketemukan untuk mengurangi kesempatan korupsi.
Bagaimana dorongan
untuk korupsi dapat dikurangi ? dengan jalan meningkatkan ancaman. Korupsi
adalah persoalan nilai. Nampaknya tidak mungkin keseluruhan korupsi dibatasi,
tetapi memang harus ditekan seminimum mungkin, agar beban korupsi
organisasional maupun korupsi sestimik tidak terlalu besar sekiranya ada
sesuatu pembaharuan struktural, barangkali mungkin untuk mengurangi kesempatan
dan dorongan untuk korupsi dengan adanya perubahan organisasi. Cara yang
diperkenalkan oleh Caiden di atas membenarkan (legalized) tindakan yang semula
dikategorikan kedalam korupsi menjadi tindakan yang legal dengan adanya pungutan
resmi. Di lain pihak, celah-celah yang membuka untuk kesempatan korupsi harus
segera ditutup, begitu halnya dengan struktur organisasi haruslah membantu
kearah pencegahan korupsi, misalnya tanggung jawab pimpinan dalam pelaksanaan
pengawasan melekat, dengan tidak lupa meningkatkan ancaman hukuman kepada
pelaku-pelakunya. Selanjutnya, Myrdal (dalam Lubis, 1987) memberi saran
penaggulangan korupsi yaitu agar pengaturan dan prosedur untuk
keputusan-keputusan administratif yang menyangkut orang perorangan dan
perusahaan lebih disederhanakan dan dipertegas, pengadakan pengawasan yang
lebih keras, kebijaksanaan pribadi dalam menjalankan kekuasaan hendaknya
dikurangi sejauh mungkin, gaji pegawai yang rendah harus dinaikkan dan
kedudukan sosial ekonominya diperbaiki, lebih terjamin, satuan-satuan
pengamanan termasuk polisi harus diperkuat, hukum pidana dan hukum atas
pejabat-pejabat yang korupsi dapat lebih cepat diambil. Orang-orang yang
menyogok pejabat-pejabat harus ditindak pula. Persoalan korupsi beraneka ragam
cara melihatnya, oleh karena itu cara pengkajiannya pun bermacam-macam pula.
Korupsi tidak cukup ditinjau dari segi deduktif saja, melainkan perlu ditinaju
dari segi induktifnya yaitu mulai melihat masalah praktisnya (practical
problems), juga harus dilihat apa yang menyebabkan timbulnya korupsi. Kartono
(1983) menyarankan penanggulangan korupsi sebagai berikut :
- Adanya kesadaran rakyat untuk ikut memikul tanggung jawab guna melakukan partisipasi politik dan kontrol sosial, dengan bersifat acuh tak acuh.
- Menanamkan aspirasi nasional yang positif, yaitu mengutamakan kepentingan nasional.
- para pemimpin dan pejabat memberikan teladan, memberantas dan menindak korupsi.
- Adanya sanksi dan kekuatan untuk menindak, memberantas dan menghukum tindak korupsi.
- Reorganisasi dan rasionalisasi dari organisasi pemerintah, melalui penyederhanaan jumlah departemen, beserta jawatan dibawahnya.
- Adanya sistem penerimaan pegawai yang berdasarkan “achievement” dan bukan berdasarkan sistem “ascription”.
- Adanya kebutuhan pegawai negeri yang non-politik demi kelancaran administrasi pemerintah.
- Menciptakan aparatur pemerintah yang jujur
- Sistem budget dikelola oleh pejabat-pejabat yang mempunyai tanggung jawab etis tinggi, dibarengi sistem kontrol yang efisien.
- Herregistrasi (pencatatan ulang) terhadap kekayaan perorangan yang mencolok dengan pengenaan pajak yang tinggi.
8. Apa Peran Pendidikan dalam menanggulangi korupsi ?.
Pendidikan merupakan
instrumen penting dalam pembangunan bangsa baik sebagai pengembang dan
peningkat produktivitas nasional maupun sebagai pembentuk karakter bangsa.
Terlepas dari masalah korupsi itu sebagai budaya atau bukan yang jelas peran
pendidikan akan dapat membantu meningkatkan ketahanan masyarakat dalam
menghadapi dan memberantas korupsi. Buruknya manusia dapat ditranformasikan ke
dalam hal yang positif melalui pendidikan, karena pendidikan adalah usaha sadar
dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar
peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki
kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan,
akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa
dan negara.
Pendidikan merupakan
upaya normatif yang mengacu pada nilai-nilai mulia yang menjadi bagian dari
kehidupan bangsa, yang dengannya nilai tersebut dapat dilanjutkan melalui peran
transfer pendidikan baik aspek kognitif, sikap maupun ketrampilan. Pendidikan
membimbing manusia menjadi manusia manusiawi yang makin dewasa secara
intelektual, moral dan sosial, dalam konteks ini pendidikan merupakan
pemelihara budaya. Namun demikian dalam konteks perubahan yang cepat dewasa ini
pendidikan tidak cukup berperan seperti itu namun juga harus mampu melakukan
transformasi nilai dalam tataran instrumental sesuai dengan tuntutan perubahan
dengan tetap menjadikan nilai dasar sebagai fondasi.
Dengan demikian
secara umum pendidikan dapat dipandang sebagai upaya preventif bagi
berkembangnya sikap dan prilaku korup meskipun secara empiris jelas tidak cukup
mengingat faktor pressure sosial politik yang dapat juga mendistorsi peran
normatif tersebut. Belakangan ini memang berkembang wacana akan perlunya
pendidikan karakter, namun jika dilihat secara substantif pendidikan kita
seperti tertuang dalam Undang-undang no 20 th 2003 sebenarnya adalah pendidikan
karakter, jadi pendidikan karakter ya pendidikan. Yang lebih penting adalah
bagaimana menciptakan karakter pendidikan bangsa dapat diselenggarakan dengan
menjunjung tinggi kemandirian dan kejujuran, beberapa kasus yang terjadi justru
kebijakan pendidikan tertentu (seperti UN) telah banyak mendorong sikap
dan prilaku ketidak jujuran yang dapat menjadikan orang terbiasa dengan
kecurangan yang nota bene merupakan potensi bagi berkembangnya korupsi
atau paling tidak pengabaian terhadapnya. Dengan demikian pendidikan
merupakan sarana atau bisa juga dipandang sebagai suatu respon yang tepat
untuk meningkatkan ketahanan etika bangsa melalui reformasi sosial yang pada
gilirannya dapat menjadi pemicu bagi terjadinya reformasi kelembagaan, sebab
Possible responses to these underlying causes of corruption include institutional
reforms to limit authority, improve accountability, and realign incentives,
as well as societal eforms to change attitudes and mobilize political
will for sustained anti-corruption interventions. While the handbook offers
detailed descriptions of different types of institutional and societal reforms,
a strategy to fight corruption cannot and need not contain each of the
institutional and societal reforms discussed. Strategy choices must be made
after taking into account the nature of the corruption problem and the
opportunities and constraints for addressing it. Reformasi kelembagaan dapat
memagari secara eksternal kemungkinan prilaku korupsi, dan reformasi masyarakat
dapat memagari secara internal kemungkinan tumbuh dan berkembangnya
prilaku korupsi, dan semua ini dapat memperbaiki hukum (aspek kelembagaan) dan
memperbaiki serta meningkatkan mutu manusia, dalam konteks inilah pendidikan
menjadi amat penting.
9. Penutup
Korupsi, apakah sudah
jadi budaya atau bukan, adalah penyalahgunaan wewenang yang ada pada pejabat
atau pegawai demi keuntungan pribadi, keluarga dan teman atau kelompoknya, baik
dalam bentuk Bribery, extortion, maupun nepotism. 2. Korupsi menghambat
pembangunan, karena merugikan negara dan merusak sendi-sendi kebersamaan dan
menghianati cita-cita perjuangan bangsa. Cara penaggulangan korupsi
adalah bersifat Preventif dan Represif. Pencegahan (preventif) yang perlu
dilakukan adalah dengan menumbuhkan dan membangun etos kerja pejabat maupun
pegawai tentang pemisahan yang jelas antara milik negara atau perusahaan dengan
milik pribadi, mengusahakan perbaikan penghasilan (gaji), menumbuhkan
kebanggaan-kebanggaan dan atribut kehormatan diri setiap jabatan dan pekerjaan,
teladan dan pelaku pimpinan atau atasan lebih efektif dalam memasyarakatkan
pandangan, penilaian dan kebijakan, terbuka untuk kontrol, adanya kontrol
sosial dan sanksi sosial,dan pendidikan dapat menjadi instrumen penting bila
dilakukan dengan tepat bagi upaya pencegahan tumbuh dan berkembangnya korupsi.
Sementara itu untuk tindakan represif penegakan hukum dan hukuman yang berat
perlu dilaksanakan dan apabila terkait dengan implementasinya maka aspek
individu penegak hukum menjadi dominan, dalam perspektif ini pendidikan juga
akan berperan penting di dalamnya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar